
Dunia hari ini berlari kencang di atas mesin teknologi. Bukan lagi sekadar Kecerdasan Artifisial, tetapi juga media sosial yang membentuk cara kita berpikir, internet yang mengalirkan informasi tanpa henti, dan dunia virtual yang menawarkan kenyataan baru. Gelombang perubahan ini begitu dahsyat, mampu mengangkat siapapun yang siap, namun juga menenggelamkan mereka yang lengah. Di tengah derasnya arus ini, santri tidak dipanggil untuk menepi dan menghindar, melainkan untuk menjadi jangkar penyeimbang yang kokoh bagi bahtera umat.
Peran pertama santri adalah sebagai filter moral dan penjernih informasi. Teknologi telah mengubah dunia menjadi sebuah pasar informasi raksasa yang riuh. Di dalamnya, berita benar, hoaks, fitnah, dan konten tak bermanfaat bercampur aduk. Di sinilah tradisi keilmuan pesantren menjadi relevan. Seorang santri terdidik dengan prinsip tabayyun (klarifikasi) dan kehati-hatian dalam menerima berita. Mereka dilatih untuk menimbang mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), mana yang membawa manfaat dan mana yang mendatangkan mudharat. Di era digital, peran ini meluas menjadi promotor literasi digital di masyarakat, mengajarkan bagaimana memilah informasi dengan bijak agar umat tidak terseret arus perpecahan dan kesia-siaan.
Kedua, santri harus bertransformasi dari sekadar konsumen menjadi produsen teknologi yang beradab. Tantangan kita bukan lagi sebatas “bolehkah menggunakan Facebook?” tetapi “bagaimana kita menciptakan platform yang lebih baik dari Facebook?”. Santri yang menguasai ilmu agama dan teknologi memiliki kesempatan emas untuk menjadi inovator yang solutif. Mereka bisa merancang aplikasi untuk memudahkan pembelajaran Al-Qur’an, membangun platform ekonomi syariah yang adil, atau menciptakan media sosial yang kontennya menginspirasi, bukan memprovokasi. Mereka adalah generasi yang diharapkan mampu menyandingkan kemuliaan akhlakul karimah dengan kecanggihan baris-baris kode.
Terakhir, peran santri yang tak lekang oleh waktu adalah sebagai penjaga kemanusiaan dan kehangatan sosial. Teknologi, di satu sisi, menghubungkan yang jauh, namun di sisi lain, seringkali menjauhkan yang dekat. Interaksi tulus sering tergantikan oleh emoji, dan silaturahmi tergadai oleh panggilan video. Pesantren adalah kawah candradimuka yang mengajarkan pentingnya muwajahah (tatap muka), jama’ah (kebersamaan), dan khidmah (pelayanan). Di tengah dunia yang semakin individualistis, santri adalah duta yang mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat. Tujuan tertingginya adalah untuk mempererat tali persaudaraan, bukan untuk membangun tembok-tembok digital yang mengasingkan.
Menghadapi perkembangan teknologi, sikap seorang santri bukanlah resistensi, melainkan adaptasi yang kritis dan partisipasi yang konstruktif. Tugasnya bukan memilih antara mengaji atau ngoding, tetapi bagaimana membawa spirit mengaji ke dalam aktivitas ngoding. Dengan demikian, santri tidak akan menjadi korban zaman, melainkan subjek yang ikut mewarnai dan mengarahkan kemajuan teknologi agar selalu berlabuh pada dermaga kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Selamat Hari Santri Nasional 2025
Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia
Guru SMA Mazra’atul Ulum Paciran
Khoirul Hakim, S.Kom.