Oleh : Nada Haroen
Nur, kapan kamu pulang, Nduk?
Padi di sawah sudah menguning, sudah wayahe panen. Kamu ndak kepingin ikut Bapak panen seperti dulu? Kamu dulu yang paling getol memakai ani-ani tiap kali panen karena katamu,”Kata Bobo, alat panen itu ani-ani pak. Kalau mboten pakai ini, bukan panen namanya”. Bapak yang sampai sekarang masih terbatas mengeja huruf hanya tersenyum saja. Kamu selalu bawa majalah bekas yang lusuh itu ke mana-mana. Selalu rutin beli majalah bekas yang kadang sampulnya sudah koyak itu di Pasar Pon tiap kali Emakmu menjual hasil kebun kita. Bapak ingat betul, senyummu mekar dari ujung ke ujung seharian memegang majalah itu. Sesekali kalau Emakmu selesai menyetrika dengan setrika arang yang kini sudah di gudang itu, kamu menyetrika majalahmu yang lusuh itu dengan hati-hati. Sesudah itu, kamu simpan hati-hati di lemarimu yang kecil itu. Senyummu waktu itu Nur, selalu membuat lelah Bapak hilang setelah seharian di sawah.
Apakah sekarang kamu masih sering tersenyum seperti itu, Nur?
Lik Di yang jadi sopir truk yang tiap Minggu ke Jakarta itu kemarin sempat mampir ke rumah. Bercerita tak sengaja bertemu kamu. Katanya, kamu sekarang lebih berisi. Bapak lega, paling tidak kamu makan cukup. Tidak seperti jaman kamu kecil dulu, Nur. Sering kali sego aking yang keras itu masih harus kita bagi-bagi, lauknya hanya daun singkong di kebun dengan sambal bikinan Emakmu. Bapak tahu kamu sering kali melihat lama bakul nasi, berharap Emak memberimu secentong lebih dari biasanya. Tapi Nur, memang tak ada apa-apa lagi di sana yang bisa dimakan. Setiap kali Bapak tanya apakah kamu masih lapar, kamu akan menggeleng. Kemudian menghambur ke rumah Kaji Mat di ujung desa. Ikut memilih biji kopi alih-alih bermain di lapangan masjid dengan teman-temanmu. Lima hari sekali, kamu akan ikut antre dengan ibu-ibu di depan rumah Kaji Mat, menunggu gaji. Hanya 100 rupiah tapi sudah lebih dari cukup, cukup untuk membeli majalah bekas di Pasar Pon. Sisanya kamu tabung di celengan ayam jago yang dulu dibelikan Emakmu waktu kamu mulai sekolah.
Apakah sekarang kamu masih rajin menabung seperti dulu, Nur?
Kata Lek Di, kamu sekarang sudah pakai baju bagus. Istilahnya Lek Di, baju kantoran yang kinyis-kinyis yang harganya tak kurang dari tiga ratus ribu rupiah harus beli di mall, tak dijual di Pasar Pon. Alhamdulilah Nur, berarti kamu sudah punya cukup uang untuk membeli baju baru dan bagus. Bapak dulu hanya bisa membelikanmu seragam bekas. Setiap lebaran, bajumu adalah lungsuran dari anak-anak Kaji Mat. Kamu tak pernah ngangluh, tak pernah meminta baju baru. Kamu cuma minta sekolah dan sekolah. Sampai akhirnya Bapak berani menyewa sawah, dengan modal pas-pasan. Berdasarkan hitungan sederhana Emakmu yang tak pernah tamat SD, kalau jadi buruh tani, kamu tak akan pernah bisa sekolah hingga SMP. Kamu ingat Nur pertama kalinya Bapak menggarap sawah sendiri dan bukan jadi buruh? Sehabis matahari tergelincir, kamu datang ke sawah membawakan makan dan mengamati padi-padi itu. Kamu ukur sudah tumbuh seberapa tinggi dan kamu bandingkan dari hari ke hari. Waktu bulir padi pertama keluar Nur, kamu lari ke gubuk dengan penuh semangat dan menyeret Bapak untuk melihatnya. Matamu saat itu Nur, penuh cahaya. Membuat Bapak tak pernah kehilangan semangat untuk ke sawah tiap hari. Membuat Bapak tak peduli panas tak peduli hujan, Bapak cuma ingin kekarepanmu itu terpenuhi. Sekolah.
Apakah masih ada kekerapenmu yang sekarang belum terpenuhi, Nur?
Kata Lek Di, kamu sekarang menjadi manusia sibuk. Menyapa Lek Di sebentar saja, titip salam untuk Bapak dan Emak kemudian berlalu sambil menonton benda yang sekarang sering dibawa-bawa Karman, mantri desa kita yang dulu sempat sekolah di kota. Kata Karman itu namanya sematpun, Bapak lihat lebih mirip tivi kecil di rumah Kaji Mat tapi sematpun bisa digenggam satu tangan saja. Kalau-kalau nanti kekarepanmu sudah terpenuhi semua, maukah kamu memenuhi kekarepan Bapak, Nur?
Bapak hanya ingin kamu pulang sebentar saja, Nur.
Kamu masih ingat jalan pulang, Nur?
Diambil dari dauw-druppels.blogspot.co.id