Setiap harinya, sekolah kita dipenuhi suara. Derit sepatu di lantai, tawa renyah saat jam istirahat, teriakan semangat di lapangan basket, hingga gemerisik kertas ujian. Di tengah semua hiruk pikuk itu, ada satu sosok yang selalu bergerak dalam keheningan yang sempurna: Senja Aditama.
Senja, siswi kelas XI, adalah definisi dari ketidak-menonjolan. Rambutnya diikat kuda, seragamnya rapi tanpa noda, dan nilainya selalu berada di batas “cukup”. Ia tak pernah maju dalam presentasi, tak pernah ikut sorak-sorai tim cheerleader, bahkan namanya pun sering tertukar di daftar presensi guru. Tempat favoritnya? Bangku paling belakang, dekat jendela yang menghadap ke kebun sekolah yang jarang terawat.
Satu-satunya benda yang selalu menemaninya adalah kamera analog tua, warisan dari kakeknya. Kamera itu berat, berbau debu, dan sama sekali tidak praktis. Sementara teman-temannya sibuk berswafoto dengan kamera ponsel yang canggih, Senja asyik membidik dengan lensa manual, berjam-jam berkutat di kamar gelap untuk mencetak hasil fotonya.
Bidikan Senja bukanlah foto-foto populer. Ia tidak memotret pemandangan spektakuler atau wajah-wajah tampan. Objeknya selalu hal-hal yang terabaikan: tumpukan buku yang miring di rak perpustakaan, sarang laba-laba yang disinari cahaya matahari pagi, atau kursi kantin yang kosong melompong setelah bel masuk berbunyi. Orang-orang menganggap hasil karyanya “sepi”. Bahkan, teman sebangkunya, Maya, pernah berkomentar, “Senja, kenapa kamu nggak foto yang seru, sih? Biar viewers-nya banyak?”
“Aku… suka kejujuran di balik kesepian itu, May,” jawab Senja, suaranya nyaris berbisik, sambil membelai permukaan kamera tuanya.
Suatu sore, saat Senja sedang sibuk membidik refleksi awan pada genangan air hujan di depan laboratorium, Raka—Ketua OSIS yang terkenal all-rounder—menghampirinya. Raka adalah bintang sekolah: cerdas, ramah, dan menjadi motor penggerak setiap kegiatan. Kehadirannya selalu membawa energi, berlawanan total dengan aura Senja.
“Aku perhatikan kamu sering sekali memotret. Hampir setiap hari,” sapa Raka, membuat Senja terlonjak kaget.
Senja cepat-cepat menyembunyikan kamera itu di balik punggungnya. “Hanya… iseng, Kak.”
Raka tersenyum maklum. “Bunga liar di dekat pagar sekolah, kamu ingat foto itu? Indah, tapi sedih.”
“Itu bukan sedih, Kak. Itu kisah. Bunga itu harus berjuang menembus lapisan semen tebal dan batu hanya untuk bisa melihat matahari. Itu namanya ketekunan, Ka. Itu keindahan yang berharga karena dia harus berkorban,” jelas Senja, entah dari mana ia mendapatkan keberanian untuk bicara sepanjang itu.
Penjelasan Senja yang tak terduga itu membuat Raka benar-benar terdiam. Ia melihat bunga liar yang dimaksud. Selama ini ia hanya melihatnya sebagai “sampah visual” yang harus dibersihkan. Tapi di mata Senja, itu adalah sebuah monumen perjuangan.
“Senja,” Raka menarik napas. “Kita sedang punya masalah di Panitia Lomba Fotografi tahunan. Juri utama kita mendadak berhalangan. Semua panitia lain sibuk dengan teknis acara. Kita butuh seseorang yang tidak hanya tahu soal teknik, tapi juga punya hati untuk melihat cerita.”
Raka menatap lurus ke mata Senja. “Aku butuh kamu. Bukan sebagai peserta yang mencari kemenangan, tapi sebagai tim kurator yang memilih kebenaran. Aku butuh matamu yang unik, yang bisa melihat ketekunan di balik hal-hal yang sering kami, para ‘bintang’, abaikan.”
Senja merasa tubuhnya membeku. Tangannya gemetar. Tugas itu terlalu besar, terlalu terang benderang untuknya. “Aku… tidak bisa, Kak. Aku tidak terbiasa jadi pusat perhatian. Aku pemalu.”
“Semua orang tahu aku pandai bicara. Tapi apa gunanya bicara jika yang kulihat hanya hal-hal yang sudah jelas? Senja, kamu sudah punya bakat untuk melihat apa yang tersembunyi. Jangan biarkan rasa malu itu mengunci potensi yang sudah kamu miliki,” desak Raka dengan nada tulus.
Akhirnya, Senja mengiyakan. Ia menghabiskan seminggu penuh di ruang OSIS, dikelilingi ribuan file foto digital dari peserta. Awalnya, ia canggung. Tapi begitu ia menyentuh layar monitor dan mulai menganalisis komposisi, angle, dan storyline setiap foto, ia seperti memasuki dunianya sendiri. Kamera tua kakeknya, yang selalu ia rasa sebagai beban, kini terasa seperti mahkota.
Ia melihat foto-foto yang menawan secara teknis: golden hour yang sempurna, pemandangan sekolah dari drone yang mahal. Tapi, foto-foto itu terasa hampa.
Hingga ia berhenti pada satu foto. Sebuah bidikan sederhana, agak buram di pinggir, diambil dari sudut yang rendah. Objeknya adalah Pak Ujang, petugas kebersihan sekolah, yang tengah beristirahat sejenak di bawah pohon beringin. Pak Ujang terlihat lelah, topi tuanya menutupi sebagian wajahnya. Di sampingnya, tersusun rapi karung berisi daun-daun kering yang baru saja ia sapu.
Senja menggeser mouse ke opsi “Pilih Pemenang”.
“Foto ini pemenangnya,” katanya lantang, membuat Raka yang sedang merekap data di sudut ruangan menoleh cepat.
“Kenapa? Secara teknis, ada yang lebih tajam,” tanya Raka, penasaran.
Senja berdiri tegak, memandang foto itu dengan penuh keyakinan. “Karena foto ini tidak berteriak ingin dilihat. Ia justru membisikkan tentang makna kerja keras. Fotografernya tidak hanya memotret Pak Ujang. Ia memotret dedikasi yang sering kita lupakan. Ini adalah kejujuran yang paling murni dari sekolah kita, bukan sekadar piala atau nilai. Itu adalah nyata.”
Raka tersenyum lebar. “Aku tahu aku tidak salah memilih mata.”
Di hari penganugerahan, Senja tidak hanya duduk di bangku belakang. Ia berdiri di podium, di samping Raka. Dengan mikrofon di tangan, ia berbicara, suaranya tidak lagi bergetar. Ia menjelaskan mengapa foto Pak Ujang adalah representasi terbaik dari tema “Semangat Tanpa Batas” tahun ini.
Para siswa mendengarkan. Mereka yang biasanya sibuk dengan ponsel, kini terpaku pada kata-kata Senja. Mereka tidak lagi melihatnya sebagai gadis di sudut koridor. Mereka melihatnya sebagai seorang kurator, seorang pencerita, seorang yang berani menyuarakan apa yang ia yakini.
Sejak saat itu, Senja mulai menerima pesan. Bukan pesan ajakan berfoto selfie, melainkan pertanyaan tentang teknik komposisi, tentang mencari cerita di balik kesederhanaan. Ia tetap memotret dengan kamera tuanya, memotret hal-hal sepi.
Tapi kini ia tahu, keheningannya adalah kekuatannya. Setiap bidikan adalah bukti bahwa nilai diri yang sejati bukanlah ditentukan oleh tepuk tangan yang paling keras, melainkan oleh keberanian untuk menggali dan menunjukkan keunikan tersembunyi yang kita miliki.
Pesan untuk Kita Semua:
Jangan takut menjadi “Senja” di dunia yang penuh “Raka”. Temukan bakatmu, meski itu terasa kecil atau aneh. Karena di balik hal yang paling sederhana dan diam, seringkali tersembunyi cahaya yang paling terang.